Nuissance Tax atau Pajak Kebisingan adalah salah satu usulan dari DPP DKI untuk perubahan Undang-undang 28/2009. Dampak kebisingan suara bersifat lokal dan memicu ketidaktertiban lingkungan disekitarnya sehingga untuk mengkompensasikan kebisingan tersebut seharusnya dikenakan pajak daerah seperti perumahan di sekitar Bandara atau pabrik yang terkena dampak kebisingan. Contoh lain, ada beberapa negara yang mengenakan pajak lebih tinggi bagi tempat usaha yang memiliki fasilitas merokok, buka hingga malam hari dan menggunakan trotoar jalanan dalam menjalankan usahanya.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI) sebagai lembaga akademis melakukan Indepth Interview dalam rangka usulan Perubahan UU 28 Tahun 2009 yang diusulkan oleh Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta (7/6/2016).
Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta yang diwakili oleh Kepala Bidang Renbang Yuandi Bayak Miko didampingi jajaran Renbang dan Humas DPP, menjawab pertanyaan yang diajukan 3 orang peneliti dari LPEM FEB-UI yaitu Mr. Andrey Timofeev dari Atlanta Amerika dan Deddi Noordiawan dan rekan.
Hal yang dibahas seperti Perluasan Basis Pajak atas PKB menjadi Kilometer Tax. Pemungutan PKB selama ini masih berdasarkan objek kepemilikan aset kendaraan bermotor, bukan penggunaannya atau daya konsumsinya. Maka agar memenuhi rasa keadilan, mobil yang dipakai lebih sering seharusnya dikenakan pajak lebih tinggi. Untuk itu diusulkan agar dapat dikenakan Kilometer Tax (km tax) dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pembagian PPH. Didalam peningkatan persentase bagi hasil Pajak Penghasilan Objek Pajak Dalam Negeri atau PPh OPDN menjadi sebesar 30%, hal ini didasari oleh PPh Pribadi yang bersumber dari daerah, untuk itu Bagi Hasil PPh OPDN perlu ditingkatkan lagi.
Untuk Kebijakan Perikatan Perjanjian Jual Beli atau PPJB sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau DPP BPHTB, dasar usulan perubahan adalah selama ini terjadi potensial lost bagi daerah akibat lamanya perubahan proses PPJB menjadi AJB atau Akte Jual Beli. Padahal secara substansi pada saat PPJB, telah terjadi pertukaran manfaat dan biaya antara penjual dan pembeli properti khususnya apartemen. Seringkali terjadi pemindahan hak menggunakan PPJB tanpa melalui AJB dan BPHTB tidak dipungut untuk peralihan hak tersebut, sehingga terjadi potensial lost.
Perluasan Basis Pajak Hotel yaitu Pajak atas persewaan ruangan, dasar usulan perubahan adalah basis objeknya immobile dan berada di daerah, sehingga semua jenis persewaan ruangan baik di hotel maupun bukan di hotel seharusnya dikenakan pajak daerah. Untuk persewaan ruangan di hotel juga belum dapat dipungut Pajak Hotel sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sepenuhnya karena dalam implementasinya masih bersinggungan dengan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Perlakuan Servis Apartemen. Dasar usulan perubahan adalah saat ini servis apartemen dikenakan PPN, dimana sebenarnya mengambil sumber daya dari daerah dan sifatnya immobile sehingga seharusnya lebih pantas dikenakan Pajak Daerah.
Pajak Hotel untuk Rumah Kos. Dasar usulan perubahan adalah banyak Rumah Kos kurang dari 10 kamar tetapi omsetnya lebih besar dari kos-kosan yang lebih dari 10 kamar. Hal ini menjadi penghindaran pajak yang bisa dilakukan kos-kosan dengan tarif premium dengan kamar kurang dari 10 kamar sehingga belum menjadi objek pajak. Hal ini mesti dibenahi demi terwujudnya keadilan dikenakan pajak daerah.
Bidang Renbang DPP banyak memberikan masukan bagi upaya untuk Jakarta Tax Revenue Administration and Modernization atau modernisasi dan administrasi pendapatan pajak dimasa mendatang. Selanjutnya tim peneliti akan meminta beberapa data terkait dengan pajak daerah yang akan digunakan sebagai bahan analisa atas penelitian ini. (Dedy/Tuty/Pohan/Renbang-Humas Pajak Jakarta) [caption id="attachment_376042" align="alignleft" width="1024"] Indepth Interview with LPEM-FEB UI[/caption]