PANDEMI Covid 19 benar-benar membuat pemungut pajak menghadapi dilema. Di satu sisi, peningkatan belanja publik yang begitu tinggi untuk menanggulangi Covid-19, memberikan tuntutan besar akan tercapainya target pendapatan. Di sisi lain, rasa kemanusiaan terhadap situasi sosial ekonomi masyarakat, juga menuntut pemungut pajak membuka ruang bagi relaksasi kewajiban perpajakan. Hal ini sebagai empati atas beban masyarakat selama masa pandemic, sekaligus sebagai stimulus bagi percepatan pemulihan ekonomi.
Di hari-hari ini, meja kantor pajak mulai dibanjiri berbagai permohonan keringanan pajak. Seruan untuk mengurangi pungutan pajak, diam-diam juga mulai mengalir dari berbagai kanal kepentingan di tingkat atas. Mereka yang ingin mengurangi pajak, berargumen bahwa pengurangan pajak akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena dalam jangka pendek akan memicu terjadinya investasi yang akan memberikan kemanfaatan jangka panjang bagi perkenonomian masyarakat (trickle down effect). Mereka berpandangan, jika dalam kondisi tanpa pandemi saja pengurangan pajak sangat disarankan, apalagi di masa pendemi, dimana kemampuan ekonomi masyarakat sangat berkurang dan pergerakan ekonomi cenderung mengarah pada terjadinya resesi.
Sepintas, argumentasi tersebut terlihat sangat mengena. Oleh karena itu, doktrin pengurangan pajak untuk semua demi pertumbuhan ekonomi dan meredam resesi, makin banyak digunakan di hari-hari belakangan ini, terutama oleh kalangan pengusaha berpengaruh.
Namun demikian ada banyak hal yang perlu dicatat bersama. Hal ini agar hal tersebut tidak menjadi persepsi, sebagai praktik yang serta merta harus dilakukan, karena justru akan dapat berdampak buruk pada program pemulihan ekonomi.
Pertama, bagi wajib pajak yang sudah mapan dan berkecukupan. Situasi pandemi secara ekonomi sebenarnya hanya akan melahirkan praktik mengurangi isi tabungan dan menahan belanja saja. Sedangkan bagi wajib pajak dengan kemempuan ekonomi menengah dan lemah, pandemi ini betul-betul membuat tidak ada uang yang bisa ditabung dan bahkan mendorong mereka terjebak pada praktik rentenir karena kebutuhan cash flow yang mendesak.
Dengan demikian, pengurangan pajak jika dilihat sebagai bentuk insentif keuangan, sebenarnya menghasilkan dampak yang berbeda pada kelompok atas yang mapan, dibanding kelompok menengah ke bawah. Penambahan insentif bagi kelompok atas yang mapan hanya akan menghasilkan tambahan tabungan atau konsumsi tersier. Sedangkan bagi kelompok menengah ke bawah, yang merupakan komposisi mayoritas masyarakat kita, justru akan menghasilkan belanja riil yang langsung dikonsumsi dan berpeluang besar mendorong laju pertumbuhan ekonomi agar tetap berjalan.
Pendapat ini sejalan dengan argumen pemenang Nobel Joseph Stiglitz dalam karya tulisnya yang berjudul, Inequality and Economic Growth (2016), yang menyatakan bahwa uang di kantong kelompok menengah ke bawah-lah, yang cenderung memberi manfaat kepada masyarakat banyak. Dengan demikian, pengurangan pajak hendaknya tidak dilakukan secara pro-rata, namun harus bercermin pada prinsip keadilan dalam pemungutan pajak, dimana pajak haruslah dikenakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan wajib pajak.
Praktik-praktik penghapusan pajak dan pemutihan denda secara massal dan berbasis threshold atau profesi misalnya, sebaiknya dikalibrasi secara mendalam. Misalnya, pemberian pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) bagi profesi tertentu, seperti dosen. Hal ini karena ada banyak orang kaya dan mapan yang juga berprofesi sebagai dosen dan kurang layak untuk mendapatkan pembebasan tersebut.
Di era pandemi ini, dimana semangat gotong royong terus digaungkan, adalah sebuah ironi moralitas, apabila seorang yang memiliki 5 rumah tetap mengajukan permohonan pembebasan PBB, hanya karena regulasi yang ada memungkinkan. Padahal yang bersangkutan masih memiliki kemampuan dan telah diuntungkan oleh kenaikan harga property yang berlipat, sebagai dampak pembangunan yang danai pajak.
Kedua, sangat penting untuk dipahami bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat bergantung pada pendapatan pajak agar tetap dapat melaksanakan pelayanan publik secara prima. Peningkatan pengurangan pajak, hakikatnya juga secara tidak langsung mengurangi kemampuan pemerintah untuk menjaga kualitas pelayanan publik. Padahal di era pandemi ini, kebutuhan untuk penyelenggaran pemerintahan dan layanan publik justru makin meningkat.
Bagi pemerintah pusat, pelebaran defisit akibat penurunan penerimaan pajak, mungkin masih bisa ditutup dengan tambahan utang. Namun tidak demikian bagi pemerintah daerah. Pengurangan pajak akan berdampak besar pada postur APBD di daerah. Ini karena tidak tersedia instrumen mengajukan utang yang sifatnya fleksibel, meskipun belakangan ini pemerintah pusat telah memperkenalkan sejumlah skema utang baru secara terbatas pada sejumlah daerah.
Oleh karena itu, masyarakat perlu menyadari bahwa pengajuan pengurangan pajak, hakikatnya secara tidak langsung mendorong timbulnya penambahan utang negara bagi pemerintah pusat. Selain itu juga mengurangi kemampuan pemerintah, baik pusat dan terutama pemerintah daerah, dalam memberikan layanan publik yang prima bagi masyarakat luas yang ironisnya justru makin dibutuhkan di era pandemi Covid-19.
Dengan demikian, pelunasan pajak tepat waktu, serta menahan diri dari pengajuan pengurangan pajak, hakikatnya merupakan wujud konkrit dari semangat gotong royong untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Semua pihak haruslah saling memahami. Situasi pandemi ini menuntut kita semakin peka, bahwa sekecil apapun kontribusi pajak kita sangat berarti bagi masyarakat. Mungkin Inilah saat terbaik bagi kalangan mampu untuk berbagi kenikmatan panjang yang sudah kita peroleh selama ini, dengan mereka yang lebih membutuhkan.
Dan sekali lagi membayar pajak tepat waktu tanpa pengurangan adalah salah satu bentuk nyata dari semangat gotong royong itu yang merupakan cermin kebijakan kemanusian kita. Karenanya mari menjadi orang bijak dengan taat pajak.
Penulis adalah Kepala Badan Pendapatan Pajak Provinsi DKI Jakarta dan mantan Penasihat KPK.
(Sumber JawaPos.com)